Wacana kepala daerah dipilih DPRD menjadi sorotan dari berbagai pihak. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokarasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkapkan bahwa wacana tersebut sudah tidak relevan pada pemerintahan reformasi.
Sejak Perppu yang dikeluarkan pemerintahan SBY, merupakan akhir dari diskursus pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Jadi saat Perppu dikeluarkan maka DPR RI secara otomatis telah menyetujuinya.
Titi menambahkan jika munculnya wacana tersebut dapat menjadi indikasi bahwa masih ada kelompok tertentu yang belum meninginkan kedaulatan sepenuhnya pada rakyat. Bahakn hal tersebut menjadi kemunduran demokrasi di Indonesia.
Pilkada langsung memang masih banya kekurangan. Namun, bukang dengan mengganti mekanisme pemilihan kemudian menyerahkan kepada DPRD. Sebenarnya masalah tersebut tergantung dari elit politik sebagai pemangku kekuasan.
Wacana pengembalian pemilihan kepala daerah oleh DPRD justru didukung pakar hukum tata negara sekaligus Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Izha Mahandra. Seperti pendapat banyak pihak bahwa pemilihan kepala daeraha secara langsung memiliki banyak kelemahan dan bertentangan dengan iklim demokrasi di Indonesia.
Menurut Yusril pemilihan secara langsung sangat rawan adanya tindak pidana korupsi di daerah. Jika hal tersebut terus dilakukan maka akan berdampak negatif tehadap situasi demokakrasi untuk masa depan.
Sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang disahkan di pemerintahan SBY dibatalkan melalui Peraturan Pengganti Undang-Undang Perppu yang dikeluarkan SBY sendiri.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon sependapat dengan Yusril. Ia menilai jika pilkada melalui DPRD akan lebih efisien dibandingkan dengan pilkada langsung. Alasan lain adalah untuk menghemat anggaran dan menekan korupsi.
Meski demikian Komisi II tidak sepakat jika pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali mengungkapkan bahwa komisinya menolak wacana tersebut. Menurutnya pemilihan kepala daerah harus dipilih langsung oleh rakyat.
Selain itu Komisi II menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Jadi permasalahan yang muncul dan biaya politik yang tinggi tidak dapat diselesaikan melalui perubahan sistem Pilkada.