Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi terkait syarat kepala daerah di Papua berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua). Permohonan ini diajukan oleh tiga putra asli Papua: Hofni Simbiak, Robert D. Wanggai, dan Benyamin Wayangkau, yang merasa dirugikan oleh ketentuan yang ada.
Pasal 12 UU Otsus Papua menyatakan bahwa yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah warga negara Indonesia dengan syarat: harus orang asli Papua, beriman kepada Tuhan, berpendidikan minimal sarjana, berumur setidaknya 30 tahun, sehat jasmani dan rohani, serta setia kepada NKRI dan rakyat Papua.
Menurut Heru Widodo, kuasa hukum para pemohon, syarat kepala daerah ini bertentangan dengan tujuan otonomi khusus yang seharusnya memberdayakan orang asli Papua secara lebih luas, termasuk dalam pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota. “Pasal ini tidak hanya merugikan klien kami tetapi juga berpotensi mempersempit daya saing orang asli Papua dalam pemilihan kepala daerah,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Otonomi khusus Papua diberikan sebagai bentuk pengakuan terhadap keunikan sosial, budaya, dan ekonomi wilayah tersebut. Hal ini sejalan dengan semangat untuk memberikan peran yang lebih besar kepada orang asli Papua dalam pengelolaan daerahnya.
Namun, para pemohon berargumen bahwa persyaratan yang hanya berlaku untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur saja tidak adil. Mereka berharap, ketentuan ini juga diterapkan untuk jabatan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota.
“Perlakuan khusus ini adalah pengakuan terhadap hak orang asli Papua untuk memimpin di semua tingkat pemerintahan di wilayah mereka sendiri,” jelas Heru. Ia menambahkan bahwa ketentuan ini tidak seharusnya dilihat sebagai tindakan diskriminatif tetapi sebagai upaya untuk mendorong kemajuan yang setara dengan wilayah lain di Indonesia.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan agar pemohon lebih mendalam menguraikan posisi mereka terkait UU Otsus. Ia menekankan pentingnya memahami tujuan otonomi khusus dalam memajukan ekonomi dan sosial budaya masyarakat Papua.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menekankan bahwa kekhususan syarat kepala daerah untuk orang asli Papua memang hanya berlaku pada tingkat provinsi, bukan di kabupaten atau kota.
Maria mengingatkan bahwa menggeneralisasi persyaratan seperti itu dapat menimbulkan preseden yang tidak sesuai di daerah lain. “Jika kita mengikuti logika ini, di Yogyakarta nanti bisa saja ada tuntutan bahwa semua kepala daerah harus keturunan Sultan atau Paku Alam,” ujarnya.
Persidangan ini menjadi momentum penting untuk menakar keadilan dan kesesuaian persyaratan dalam UU Otsus Papua dengan prinsip-prinsip konstitusi. Syarat kepala daerah yang mengutamakan orang asli Papua harus dilihat sebagai bagian dari usaha untuk mempercepat kemajuan daerah.
Namun, penerapan ketentuan ini perlu ditimbang dengan hati-hati agar tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Dengan sidang ini, diharapkan ada titik terang dalam penerapan syarat untuk kepala daerah di Papua, yang tidak hanya menjunjung tinggi keunikan lokal tetapi juga memastikan keadilan bagi semua warga negara.
Demikian informasi seputar syarat kepala daerah di Papua. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Kepaladaerah.Org.